22 September 2009

Tradisi Mudik Lebaran, silaturrahmi, kasih sayang dan cinta. "Bukan Pamer"

Tradisi Mudik Lebaran

Mudik berasal dari kata "udik" yang artinya kampung. Jadi secara sederhana, kata "mudik" bisa diartikan sebagai "pulang ke kampung asal, di mana kita dilahirkan dan sebagian besar keluarga bertempat tinggal".

Tradisi "mudik", yang umumnya dilakukan orang Indonesia, mungkin telah berlangsung sejak lama. Hal ini disebabkan karena budaya orang-orang nusantara yang suka hidup berpetualang, mengembara dan merantau, baik bertujuan mencari penghidupan materi kekayaan, kejayaan, maupun ilmu pengetahuan. Saya pikir budaya ini pun dimiliki oleh orang-orang di belahan bumi mana pun.

Ada tiga landasan kejiwaan yang cukup kuat dijadikan alasan untuk "tradisi mudik lebaran".

Pertama
Di kampung asal kita lahir, di mana kita menghabiskan masa kanak-kanaknya serta di sana pula tinggal sanak saudara, handai taulan, tetangga dan lingkungan yang akrab dengan kita sebelum kita pergi ke tempat lain, adalah tempat yang sangat berkesan, banyak membekaskan kenangan dan tidak jarang menimbulkan kerinduan. Hingga suatu saat setelah berada di tempat lain kita pun ingin kembali. Ini adalah suatu fitrah manusia dari zaman ke zaman, dari dahulu dan akan berlangsung sampai kapan pun.

Kedua
Menyambung tali kasih sayang kepada sanak saudara dan kerabat, yang kita kenal dengan istilah "silaturrahmi", dan menghangatkan kembali hubungan persahabatan dengan teman yang telah lama berpisah, yang kita kenal dengan istilah "ukhuwah".

Ketiga
Momen "Idul Fitri" membawa jiwa kita pada terbukanya fitrah manusia setelah sebulan menahan lapar, haus dan nafsu saithoniah dengan berpuasa, sehingga tumbuh kesadaran akan rasa kasih sayang dan saling cinta kepada sesamanya, terlebih kepada keluarga.

Setidaknya tiga hal inilah yang mendorong seseorang melakukan mudik lebaran, untuk segera bertemu dan mencurahkan rasa rindu, kasih sayang dan cintanya kepada orang-orang yang dicintai, yang akhirnya menjadi sebuah tradisi tiap tahunnya. Dorongan seperti ini, dalam diri seseorang kadang muncul begitu kuat hingga tidak bisa menahan kecuali harus segera memenuhinya, apa pun keadaan dan resikonya. Kuatnya dorongan ini juga sangat dipengaruhi oleh empat faktor kejiwaan yang melandasi cinta dan kasih sayang seseorang, yang terkenal dengan istilah psikologi kasih sayang. Empat faktor itu adalah: penuh perhatian, keinginan untuk memberi, memaklumi kekurangan dan memaafkan kesalahan. Sebenarnya, sifat kasih sayang ini adalah sifat dasar setiap manusia semenjak diciptakan oleh Allah SWT. di mana sebelum manusia ini di lahirkan di dunia, ia tersimpan dalam suatu tempat yang kokoh dan aman dalam perut seorang wanita yang dinamakan "rahim". Rahim ini adalah salah satu nama dari sembilan puluh sembilan Asma Al-Husna atau nama-nama Allah yang indah, yang berarti bahwa Allah mempunyai sifat kasih sayang. Selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari ia tersimpan di sana, dan selama itu pula ia hanya dikenalkan dengan sifat rahim (kasih sayang), sesuai dengan nama tempat ia tersimpan. Hingga pertama manusia lahir ke dunia ia hanya membawa sifat kasih sayang yang telah terbentuk dalam jiwanya selama dalam kandungan (rahim) ibunya. Tatkala manusia dilahirkan di dunia, ia disibukkan oleh urusan dunia yang begitu kompleks, ada kemungkinan sifat ini akan terdesak bahkan tertimbun oleh sifat-sifat lain seperi sifat rakus, iri, dengki dan sifat-sifat saithoniah yang lain. Maka setelah ramadhan, sebulan jiwa dibersihkan dari sifat-sifat saithoniah, manusia akan kembali kepada fitrahnya, yaitu sifat kasih sayang, yang sebenarnya telah menjadi sifat dasar aslinya. Inilah yang setiap tahun kita saksikan bersama berbondong-bondongnya jutaan manusia Indonesia yang melakukan "pulang mudik" untuk bersilaturrahmi atau menjalin tali kasih sayang kepada seluruh keluarga dan kerabat serta menghangatkan kembali ukhuwah dengan sahabatnya di kampung halaman. Dalam kebersihan jiwa mereka dari unsur sifat saithoniah, setelah shaum ramadhan, jiwa-jiwa mereka dipenuhi rasa kasih sayang yang mendesak keinginannya untuk segera dicurahkan kepada keluarga, kerabat dan orang-orang yang dikasihi dan dicintai, seakan kehausan yang segera membutuhkan tetesan air yang sejuk dan menyegarkan, atau seperti pemuda yang dilanda kerinduan kepada kekasih yang ia cinta, ingin segera melepas kerinduannya berjumpa dengan kekasih, apa pun risikonya. Dorongan (baca: kebutuhan) pulang mudik untuk tujuan "bersilaturrahmi" seperti ini melanda setiap muslim tanpa kecuali. Meski tidak sedikit oknum yang mempunyai tujuan untuk "pamer" kekayaan di kampung atas keberhasilannya selama di perantauan. Tidak saja bagi mereka yang kaya, yang punya mobil, punya motor maupun yang hanya punya ongkos naik kendaraan umum saja. Tapi bagi mereka yang tidak punya cukup ongkos pun sebenarnya punya keinginan pulang mudik, bersilaturrahmi kepada sanak famili dan mempererat ukhuwah dengan para sahabat.

Bagi mereka yang pulang mudik dan dalam hatinya ada niat ingin pamer atau ingin menunjukkan kekayaan atau keberhasilannya selama di rantau, saya pikir niat seperti ini tidak seratus persen memenuhi hatinya. Dalam momen lebaran seperti ini meski hatinya tidak seratus persen dipenuhi niat silaturrahmi, yang jelas setidaknya niat bersilaturrahmi sangatlah dominan. Kecuali bagi mereka yang mungkin selama bulan ramadhan tidak pernah berpuasa dan selama hidunya tidak pernah shalat serta jauh dari agama, untuk orang yang model seperti ini saya tidak bisa menjamin. Bisa jadi orang seperti ini hatinya kosong dari niat silaturahmi, tapi hatinya dipenuhi oleh niat pamer atau riya, ingin menunjukkan kesuksesannya kepada keluarga, kerabat, tetangga dan sahabat-sahabatnya. Hal-hal seperti ini sudah menjadi lumrah dalam setiap momen ibadah. Seperti datangnya orang-orang ke masjid pada hari jumat misalnya, ada saja yang datangnya sengaja mau mencuri sandal, bukan niat shalat jumat. Hati orang yang seperti ini jauh dari makna mudik lebaran. Karena mudik lebaran identik dengan makna silaturrahmi.

Inilah yang terjadi dalam masyarakat Indonesia di penghujunng ramadhan menjelang Idul Fitri. Pemerintah tinggal menyikapi searif mungkin. Hargai niat silaturrahmi di musim lebaran mereka yang seakan sudah menjadi kebutuhan batin yang tidak boleh tidak. Meski gelombang pulang mudik ini dapat merepotkan dirjen perhubungan darat, laut maupun udara.

Agaknya tradisi "pulang mudik lebaran" seperti ini telah menjadi tradisi unik yang tidak dimiliki masyarakat dunia manapun. Bisa jadi tradisi ini dijadikan "kekayaan budaya bangsa Indonesia" yang perlu dilestarikan dan kita banggakan serta perlu juga dilindungi oleh negara, bila perlu didaftarkan pada lembaga kebudayaan dunia agar tidak diakui oleh negara lain, hehehe....

---------------------------
mustafa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar